Kamis, 09 Mei 2013

Makalah Mencintai Produk Dalam Negeri

TUGAS/TULISAN 2 PEREKONOMIAN INDONESIA
ABSTRAK 
     Banyak alasan untuk mencintai produk dalam negeri, dan sudah merupakan keharusan bagi warga negara agar mencintai produk-produk dalam negeri agar produk dalam negeri sendiri bisa bersaing di kancah internasional. akan tetapi Kita sering merasa lebih berkelas ketika memakai produk berlabel luar negeri, buatan rumah fashion ternama. tidak heran jika pernyataan tersebut dilontarkan pada era sekarang ini...... :(

     akan tetapi ternyata, banyak produk dalam negeri yang jadi pemasok merk-merk mahal dan terkenal dari luar negeri. Salah satu pernyataan ini diungkap oleh Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat.
kenapa negara-negara maju itu tertarik menggunakan barang lokal untuk merk dagang mereka yang mendunia? Bukankah orang Indonesia sendiri mengatakan bahwa produk lokal merupakan barang kelas dua atau bahkan kelas tiga?

     Tidak hanya brand besar serta selebriti dunia, ternyata banyak juga atlit dunia yang menggunakan produk indonesia untuk perlengkapan mereka. Sudah seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia, lebih mencintai produk dalam negeri, karena brand dunia pun sudah mengakui kualitas barang lokal kita. 

BAB I
               PENDAHULUAN               

A.               LANDASAN TEORI

Bela negara yang selalu didengung-dengungkan oleh petinggi bangsa Indonesia sejak dulu memang merupakan sesuatu yang amat penting bagi keberlangsungan suatu negara. 
Dengan perkembangan IPTEKS dan munculnya berbagai bentuk hambatan, gangguan, tantangan dan ancaman di luar pertahanan  keamanan yang semakin luas dan rumit, pengertian bela negara mulai berkembang sebagai upaya untuk menjamin integritas dan eksistensi NKRI, baik dalam aspek ideology, politik,ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. (Parlaungan Adil Rangkuti ,2007) 
Bentuk hambatan, gangguan, tantangan dan ancaman yang dihadapi oleh bangsa dan negara dalam upaya menjamin kelangsungan hidupnya, semakin sulit dideteksi dan dianalisa dalam segala bidang. Sehingga perlu rasanya masyarakat kembali sadar dan peduli terhadap nilai-nilai kepejuangan bangsa sebagai pengembangan kesadaran bela negara. Karena upaya bela negara bukan hanya sebagai hak dan kewajiban setiap warga negara, akan tetapi juga merupakan kehormatan dan tanggung jawab moral setiap anak bangsa.
Oleh karena gangguan terhadap bangsa tidak hanya dari segi keamanan saja maka perhatian kita juga tidak boleh terpusat hanya pada satu permasalahan saja. Namun untuk saat ini yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan adalah ancaman terhadap aset negara berupa budaya dan produk lokal yang telah menghadapi perdagangan bebas. Baru-baru ini Indonesia menyetujui adanya kerjasama perdagangan bebas ASEAN-CHINA yang dikenal dengan ACFTA. Oleh sebab itu kami akan mencoba menyoroti dampak perdagangan bebas pada pasar Indonesia dan kaitannya dengan rasa cinta pada tanah air yang diwujudkan dengan “Cinta Produk Dalam Negeri”
Cinta produk Indonesia dapat menjadi gambaran betapa besarnya rasa cinta masyarakat pada bangsa ini.  Bayangkan, ketika seluruh rakyat Indonesia dengan penuh kesadaran mengonsumsi produk-produk buatan lokal di tengah derasnya arus barang impor dari luar negeri. Secara tak langsung, konsumsi yang begitu besar akan meningkatkan pendapatan pengusaha lokal bahkan pendapatan nasional. Diharapkan pula dengan keuntungan tersebut pelaku usaha akan terus meningkatkan mutu produk-produknya sebagai timbal balik dari kepercayaan publik dalam negeri. Selain itu, permintaan produk lokal yang tinggi tentu menuntut peningkatan jumlah produksi yang juga akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi jutaan rakyat Indonesia. Beberapa hal di atas mungkin hanya sebagian kecil dari pentingnya rasa cinta tanah air yang diwujudkan dengan “Cinta Produk Dalam Negeri”.
Agaknya kita perlu belajar dari masyarakat  Jepang yang sangat loyal terhadap barang-barang buatan negaranya meskipun tidak sedikit barang dari luar negeri yang masuk. Karena mereka percaya dengan membeli produk dalam negeri adalah suatu cara membantu negaranya untuk menjadi bangsa yang besar.
Namun begitupun seharusnya pelaku usaha di tanah air bisa lebih memahami keinginan masyarakat kita yang tidak mau “ditipu”  dengan dijualnya suatu barang yang harganya tidak sebanding dengan mutunya. Maka perlu bagi para pelaku usaha untuk senantiasa meningkatkan mutu dan pelayanan terhadap konsumen dalam negeri, sehingga masyarakat tidak akan ragu memilih untuk menggunakan produk-produknya.
Pemerintah juga tidak boleh lepas tangan, dalam hal ini peran pemerintah sebagai teladan sangat diharapkan. Karena bagaimana mungkin masyarakat diminta untuk mencintai produk dalam negeri kalau pejabat pemerintahan sendiri ternyata lebih senang memakai produk-produk luar negeri.
Semua keadaan di atas membuat kami tertarik untuk membahas masalah “Cinta Produk Dalam Negeri” pada makalah ini.
B.                 Rumusan Masalah
1.      Mengapa masyarakat Indonesia lebih memilih produk luar negeri dari pada produk dalam negeri?
2.      Apa penyebab kurangnya kesadaran dan kebanggan masyarakat Indonesia terhadap produk dalam negeri?
3.      Bagaimana peran pemerintah terhadap pelaku usaha dalam negeri?

C.                Tujuan
1.      Menjelaskan penyebab masyarakat Indonesia lebih memilih produk luar negeri dari pada produk dalam negeri.
2.      Menjelaskan penyebab kurangnya kesadaran dan kebanggan masyarakat Indonesia terhadap produk dalam negeri.
3.      Menjelaskan peran pemerintah terhadap pelaku usaha dalam negeri.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Kurangnya Mutu Produk Dalam Negeri Dibandingkan Dengan Produk Impor
Dari sudut pandang sumber daya manusia, sebenarnya kualitas orang-orang Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan orang-orang di negara-negara maju, jika saja benar-benar mau belajar. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh-tokoh dan cendikiawan yang berasal dari negara kepulauan terbesar di dunia ini. Namun kemauan saja tidak cukup, fasilitas pendukungnya pun harus mumpuni. Hal inilah yang harus menjadi sorotan. Bahwa dalam proses belajarnya, orang-orang Indonesia belum mendapatkan fasilitas yang memadai, belum maksimalnya akses informasi dari masyarakat di pedalaman. Serta yang tidak boleh dilupakan juga adalah asupan gizi sebagian besar masyarakat yang jauh dari pemenuhannya karena alasan ekonomi. Beberapa gambaran diatas menjadi mata rantai permasalahan yang saling terkait yang membuat kualitas orang-orang Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan orang-orang di negara-negara maju.
Kualitas masyarakat yang rendah juga berakibat pada rendahnya mutu atau kualitas produk (barang maupun jasa) yang dihasilkan. Hal ini karena belum maksimalnya penerapan sebuah teknologi dalam proses produksi. Kebanyakan masyarakat hanya mengandalkan pengalaman saja tanpa diiringi penguasaan konsep dan teknologi yang membuat tidak maksimalnya proses produksi.
Permasalahan yang selanjutnya adalah dalam menjalankan proses produksinya, pelaku usaha di tanah air  selalu dibayang-bayangi masalah finansial atau pendanaan proses produksi. Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah telah memberikan bantuan  dengan mengucurkan dana usaha bagi pengusaha kecil dan menengah. Namun, yang harus disoroti adalah bahwa bantuan-bantuan yang ditujukan kepada kalangan pengusaha kecil dan menengah itu belum termanfaatkan dengan maksimal. Karena ternyata dalam penyalurannya, bantuan tersebut banyak yang salah sasaran. Sehingga wajar saja bila pengusaha kecil dan menengah tidak dapat berbuat banyak untuk menyikapi masalah pedanaan ini. Secara tidak langsung keadaan ini mengganggu proses produksi yang membuat mereka lebih memilih untuk menekan biaya produksi hingga seminimal mungkin. Misalnya saja dengan menggunakan bahan baku yang kualitasnya dibawah standar yang seharusnya serta penggunaan teknologi konvensional yang membuat proses produksi tidak maksimal.
Dua permasalahan klasik diatas merupakan sebagian kecil dari hambatan-hambatan yang membuat produk-produk dalam negeri menjadi lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan produk-produk yang diproduksi negara-negara maju. Hal ini tentunya menjadi ancaman serius bagi pelaku usaha nasional karena kita telah memasuki gerbang perdagangan bebas. Sedangkan pada perdagangan bebas itu diharapkan barang-barang produksi anak bangsa mampu menyaingi produk luar yang masuk ke Indonesia sehingga dapat tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

2.2 Kurangya Kesadaran dan Kebanggaan Untuk Menggunakan Produk Dalam Negeri
Sudah menjadi rahasia umum bahwa produk buatan Indonesia  berkelas lebih rendah dibandingkan dengan produk luar negeri. Masyarakat Indonesia umumnya telah melakukan pengaturan pada pola pikir mereka bahwa produk asal luar negeri selalu atau bahkan selamanya akan memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan produk dalam negeri. Dan karena kecintaan mereka terhadap produk luar negeri, mereka rela merogoh saku dalam-dalam untuk sebuah produk luar negeri. Hal tersebut bertolak belakang dengan produk dalam negeri yang memiliki image buruk bahkan sangat buruk di mata konsumen (masyarakat Indonesia.red). Jangankan untuk merogoh saku dalam-dalam, merogoh di permukaan saku pun sepertinya masyarakat enggan kalau uang itu hanya untuk membeli sebuah barang produksi dalam negeri. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan berpikir bahwa membeli barang produksi dalam negeri sama saja dengan membuang uang.
Ada beberapa alasan yang menjadi faktor utama masyarakat Indonesia lebih memlilih produk luar negeri. Sebagian dari mereka berasumsi bahwa produk luar negeri memiliki kualitas yang lebih bagus. Mungkin pengibaratan kualitas produk luar negeri dan produk dalam negeri bagaikan langit dan bumi. Sangat signifikan! Sebagian lagi berdalih bahwa produk luar negeri itu lebih elit dan berkelas yang  diukur dari segi kualitas atau mungkin juga dari negara asal produk tersebut. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa produk yang berasal dari negara-negara di Eropa lebih berkelas dibanding produk yang berasal dari negara-negara di kawasan Asia.
Menurut para pecandu produk luar negeri, yang membuat produk dalam negeri terpuruk adalah tidak sebandingnya harga dengan kualitas produk dalam negeri. Alasan mereka bahwa produk dalam negeri memiliki kualitas rendah tetapi dipatok dengan harga yang cukup tinggi. Berbeda dengan produk luar negeri yang mereka anggap sebanding antara kualitas dan harganya. Walaupun memiliki harga yang relatif lebih mahal, tetapi mereka tidak segan mengorbankan uang yang lebih banyak untuk barang tersebut.
Sebenarnya banyak alasan yang seharusnya membuat masyarakat Indonesia lebih memilih produk dalam negeri. Pertama, membeli produk dalam negeri secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan para pekerja lokal. Mengapa? Karena semakin banyak permintaan akan produk dalam negeri akan semakin meningkatkan beban pekerja dan itu berarti akan meningkatkan pula upah yang mereka terima. Kedua, membeli produk dalam negeri dapat membantu mengurangi jumlah pengangguran. Apabila permintaan produk dalam negeri meningkat, maka untuk memenuhi pertambahan jumlah permintaan, produsen kemungkinan akan menambah jumlah pekerjanya. Dengan kata lain kembali terbuka lowongan pekerjaan bagi masyarakat yang masih menganggur. Ketiga, membeli produk dalam negeri berarti meningkatkan pendapatan negara. Alasan terakhir adalah dengan membeli produk dalam negeri akan menentukan jati diri bangsa. Hal itu merupakan salah satu wujud cinta kita kepada Indonesia, sebagai warga negara yang baik.
Mungkin banyak yang tidak mengetahui bahwa tidak semua produk dalam negeri memiliki kualitas yang lebih rendah, misalnya buah-buahan. Sebenarnya membeli buah lokal itu memberikan lebih banyak manfaat. Cita rasa buah lokal yang lebih enak dan nutrisinya lebih optimal karena dijual dalam keadaan segar. Harganya pun lebih terjangkau. Selain itu kita ikut mencegah pemanasan global karena mengurangi jumlah pemakaian kapal kargo yang mengangkut buah-buahan impor dan tentu saja kualitas buah lokal lebih baik.
 Banyak pula yang akan tercengang ketika mereka mengetahui bahwa banyak perusahaan barang-barang berlabel luar negeri menggunakan jasa orang Indonesia untuk membuat produk mereka. Seperti tas dan sepatu, banyak orang Indonesia yang bekerja sama dengan produsen luar negeri. Mereka membuat sepatu atau tas kemudian dikirimkan ke luar negeri, lalu di sana diberikan label dan dijual kembali kepada konsumen (yang kemungkinan orang Indonesia) dengan “judul” barang produksi luar negeri. Padahal barang tersebut dibuat di Indonesia. Artinya barang buatan orang Indonesia tidak selamanya berkelas rendah. Produsen luar negeri saja mengakui kualitas barang buatan orang Indonesia, mengapa kita sendiri yang notabene masyarakat Indonesia sepertinya berat untuk mengakui kelebihan itu? Gengsikah?
Tidak banyak pula dari masyarakat kita yang menyadari betapa bangsa ini telah kecanduan produk luar negeri. Saat ini barang-barang kebutuan sehari-hari mulai dari makanan, minuman, pakaian, barang elektronik, alat tulis-menulis, sampai korek api pun merupakan barang impor. Apalagi setelah diberlakukannya sistem perdagangan bebas. Produsen dalam negeri seakan tertimbun oleh barang impor hingga tak mampu lagi berproduksi karena kalah bersaing dengan produk luar negeri.
Bukannya produsen dalam negeri menawarkan produk berkualitas lebih rendah, tapi belum sempat mereka mengembangkan dan memperbaiki kualitas produk yang mereka tawarkan, produk-produk impor telah masuk dan memporak-porandakan istana perdagangan yang mereka bangun secara perlahan. Seandainya mereka memiliki waktu untuk memperbaiki produksi mereka, pasti akan mereka lakukan. Karena perbaikan kualitas produk mereka tidak hanya memberikan kepuasan bagi konsumen mereka, tetapi juga mendatangkan keuntungan yang lebih besar bagi mereka. Tetapi sebelum hal itu terjadi, produsen raksasa luar negeri datang sebagai rival mereka dalam berdagang di negeri sendiri.
Lihatlah yang terjadi pada Korea Selatan yang 40-an tahun lalu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Indonesia. Tapi sekarang ‘level’ mereka bahkan berada jauh di atas Indonesia. Mereka mampu menjadi produsen barang raksasa yang cukup berpengaruh di Asia. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari peranan masyarakat Korea Selatan sendiri. Mereka lebih bangga dan meras  lebih elit bila menggunakan produk buatan negara mereka sendiri.
Hal yang sama juga terjadi pada Jepang. Negara yang terpuruk, bahkan dapat  dikatakan mati ketika dibombardir oleh tentara sekutu pada tahun 1945. Tahun yang sama ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Masyarakat Jepang hampir anti dengan produk impor. Mereka akan tetap mengonsumsi produk dari negara mereka sendiri walaupun harganya lebih mahal dan kualitas lebih rendah. Tetapi dengan tindakan seperti itu justru membangkitkan semangat produsen dalam negeri untuk memberikan yang lebih baik bagi para konsumen mereka. Hal ini merupakan apresiasi atas kesetiaan mereka untuk tetap menggunakan produk dalam negeri. Sehingga Jepang berhasil melahirkan banyak perusahaan raksasa yang memiliki pengaruh besar di Asia bahkan dunia. Barang-barang mereka yang bermerk Sony, Honda, Suzuki, dan Kawasaki menjadi barang kelas elit di Indonesia. Dan sekarang Jepang muncul sebagai salah satu negara maju di Asia.
Bila kedua negara di atas dibandingkan dengan Indonesia, seharusnya ketiga negara berada di level keelitan yang sama. Tapi pada kenyataannya, Indonesia tertinggal jauh di bawah mereka. Khususnya dari segi perdagangan, Indonesia hanya bisa ‘gigit jari’ atas prestasi yang mampu diraih Jepang dan Korea Selatan. Indonesia bahkan menjadi negara yang cukup konsumtif dalam menggunakan barang-barang kedua negara tersebut.
Padahal jika Indonesia mau dan berusaha untuk mencari titik cerah seperti ketika Korea Selatan masih berada di masa suram atau ketika Jepang berusaha bangkit dari keterpurukan, pasti bisa. Khususnya dalam menghargai produk hasil karya anak negeri. Korea Selatan dan Jepang bisa seperti sekarang karena masyarakatnya menghargai negara mereka. Mereka mencintai apa yang ada di negara mereka. Mereka bangga berdiri di atas kaki mereka sendiri, dengan menggunakan barang-barang dari negara mereka. Tidak seperti Indonesia yang malah merasa elit dan berkelas ketika menggunakan produk luar negeri. Jangankan bangga, memiliki rasa cinta dan menghargai produk dari negara mereka sendiri tidak.
Masyarakat Indonesia terlalu gengsi untuk menggunakan produk dalam negeri. Mereka merasa lebih elit ketika mereka menggunakan sepatu bermerk Adidas atau Puma ketimbang hanya mengalaskan kaki mereka dengan bungkusan kaki berlabel Cibaduyut. Mereka merasa lebih berkelas ketika laptop yang mereka gunakan bergambar Apple ketimbang mereka mengetik dengan Zyrex. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa berlevel lebih tinggi ketika membayar dengan dolar ketimbang rupiah.
Kapan negara ini bisa maju kalau masyarakatnya saja justru merasa lebih bangga, lebih elit, lebih berkelas, dan berlevel tinggi ketika mereka dibalut produk bermerk luar negeri? Kapan produsen dalam negeri bisa maju dan melakukan revolusi terhadap produk mereka kalau tidak ada yang mau membeli produk mereka? jawaban untuk kedua pertanyaan di atas adalah ‘tidak kan pernah terjadi’, kalau masyarakat Indonesia masih menggantung tinggi gengsinya untuk menggunakan produk dalam negeri. Sebuah negara tidak akan pernah maju ketika masyarakatnya tidak mencintai negara mereka sendiri.
Negara kita tidak akan dipandang masyarakat dunia kalau kita sendiri enggan untuk memandang negara kita. Produk dari negara kita tidak akan sama derajatnya dengan produk Korea Selatan dan Jepang apalagi Eropa, kalau kita tidak memulai untuk mencintai produk itu apa adanya. Karena suatu hal yang luar biasa selalu dimulai dengan hal biasa. Dengan bangga dan cinta menggunakan produk Indonesia suatu saat bukan tidak mungkin industri Indonesia akan merangkak naik seperti yang terjadi pada Jepang dan Korea Selatan.

2.3 Kurangnya Perhatian Pemerintah Pada Produk Dalam Negeri
Peran pemerintah dalam hal memajukan produk dalam negeri sudah pasti sangatlah penting. Sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengampanyekan slogan “cinta produk Indonesia”. Meminta konsumen agar lebih memilih produk buatan dalam negeri dan mendorong pelaku bisnis (ritel) untuk lebih mengutamakan menjual produk dalam negeri. Namun, jangan sampai itu hanya jargon belaka. Rakyat diminta mencintai produk dalam negeri sementara para pejabat sendiri justru lebih suka menggunakan produk dari luar negeri.
Jika pejabat publik, yang seharusnya jadi panutan, justru lebih suka menggunakan produk luar negeri, bagaimana bisa meminta masyarakat mencintai produk negeri sendiri? Demikian pula produsen, jika mereka sendiri lebih mencintai produk luar negeri, bagaimana mungkin mengharapkan konsumen Indonesia mencintai produk buatan mereka?
Pemerintah maupun asosiasi pengusaha, harus menerapkan standardisasi produk. Sebelum produk dalam negeri dipasarkan, harus memenuhi standar kualitas tertentu. Standar kualitas produk untuk pasar dalam negeri dengan produk untuk ekspor haruslah sama. Artinya, mereka harus memberi nilai atau penghargaan yang sama bagi konsumen di tanah air dengan konsumen di luar negeri. Jangan karena hanya untuk kebutuhan lokal, lantas menganggap remeh soal kualitas. Seolah-olah kualitas pas-pasan sudah cukup untuk konsumen lokal. Hal ini merupakan sebuah kekeliruan yang sangat besar.      
Apalagi di era pasar bebas, produk dari berbagai belahan dunia sudah membanjiri negeri kita sehingga konsumen memiliki banyak pilihan. Produsen nasional harus bisa bersaing dengan menghasilkan produk berkualitas bagus, inovatif, dan harga bersaing. Sehingga masyarakat tidak merasa seolah-olah dipaksa membeli produk dalam negeri atau bahkan dianggap “berdosa” karena tidak mencintai produk dalam negeri. Sebab, tak ada yang mau dirugikan dengan membeli produk berkualitas rendah.
Demikian pula para pegawai negeri sipil (PNS). Mereka juga manusia normal yang memiliki selera sendiri. Tentu pemerintah tidak bisa memaksa mereka melalui peraturan yang mewajibkan memakai produk dalam negeri. Pemerintah harus bisa membuktikan bahwa produk dalam negeri, misalnya produk  A, B, C, dan seterusnya, memang memiliki kualitas sebanding (atau bahkan lebih baik) dibanding  produk serupa dari luar negeri.
Tetapi pemerintah justru tidak memberikan teladan yang baik kepada rakyat , contohnya pada tahun 2008 diadakan acara buka puasa bersama di istana negara . Sangat disayangkan sekali hampir semua menteri yang menghadiri acara tersebut memakai sepatu produksi luar negeri. Ironis memang, di tengah kampanye “cinta produk Indonesia” justru pejabat negara memberikan contoh yang tidak baik.
Konsumen Indonesia  juga perlu dilibatkan atau diberi kesempatan ikut berpartisipasi dalam menilai produk dalam negeri. Konsumen akan loyal terhadap produk dalam negeri bila mereka merasa produk itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka dari segi kualitas, harga, dan inovasi. Supaya pasar kita yang sangat besar ini tidak justru lebih dinikmati para produsen dari luar negeri.
Selain itu pemerintah saat ini merasa sudah cukup puas dengan segala sesuatu yang sudah kita milki, sehingga pemerintah tidak sigap dalam mematenkan produk tersebut . Dengan sikap pemerintah yang seperti itu, dewasa ini banyak sekali produk-produk dalam negeri yang tanpa kita sadari sudah dipatenkan oleh negara lain. Alhasil produk-produk dalam negeri tersebut menjadi milik negara lain .
Dengan sikap pemerintah yang seperti itu sudah pasti rakyat sangatlah kecewa, terkesan pemerintah tidak menjaga aset yang sudah lama dimiliki oleh negara ini . Inilah salah satu sikap pemerintah yang justru bertentangan dengan kampanye yang sudah di galakkan yaitu “lestarikan aset dalam negeri” .
Rakyat pun bingung dengan sikap pemerintah. Rakyat dihimbau untuk melestarikan aset yang ada tetapi pemerintah tidak memberikan contoh yang sesuai dengan apa yang di galakan. Bagaimana rakyat bisa menjalankan apa yang digalakkan oleh pemerintah sedangkan pemerintah sendiri tidak menunjukkan contoh yang riil kepada rakyat .
Dengan sikap pemerintah yang kurang sigap, pasti akan memberikan dampak yang buruk bagi negara kita. Antara lain menurunnya omset pengusaha dalam negeri yang secara otomatis menurunkan devisa negara, kemudian hilangnya aset negara karena pemerintah tidak tegas dalam hal mematenkan aset yang telah dimiliki sehingga negara lain dengan mudah mengambilnya. Dampak lainnya yaitu adanya ketergantungan dengan produk luar negeri, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap produk dalam negeri, hingga jumlah pengangguran meningkat.
Masalah ini bukan mutlak kesalahan pemerintah saja, tapi kita pun sebaiknya introspeksi diri dalam hal ini. Masih banyak masyarakat yang gengsi apabila harus membeli atau menggunakan produk dalam negeri. Karena kebanyakan produk luar negeri mempunyai mutu yang lebih baik dari produk dalam negeri sendiri.
Meskipun sikap pemerintah terkesan plin-plan, rakyat justru harus mempunyai kesadaran sendiri untuk melestarikan aset yang sudah ada. Mungkin dengan sikap rakyat seperti itu pemerintah dapat bercermin pada sikap rakyatnya sendiri.





  

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Masyarakat lebih memilih produk luar negeri dari pada produk dalam negeri karena kurangnya mutu produk dalam negeri dibandingkan dengan produk impor. Hal ini disebabkan oleh kualitas masyarakat yang rendah karena kurangnya kemauan belajar, belum maksimalnya akses informasi dari masyarakat di pedalaman, hingga sarana belajar yang kurang memenuhi standar misalnya kondisi sekolah dan kelengkapannya yang tidak layak pakai. Yang tidak boleh dilupakan juga adalah asupan gizi masyarakatnya yang jauh dari pemenuhannya. Penyebab lainnya adalah belum maksimalnya penerapan sebuah teknologi dalam proses produksi. Kebanyakan masyarakat hanya mengandalkan pengalaman saja tanpa diiringi penguasaan konsep dan teknologi yang membuat tidak maksimalnya proses produksi. Permasalahan selanjutnya adalah dari aspek finansial yang turut mempersulit keadaan pelaku usaha tanah air.
Masyarakat juga dinilai kurang bangga untuk menggunakan barang buatan anak negeri. Mereka beralasan bahwa dengan menggunakan produk luar negeri akan membuat mereka terlihat lebih elit, berkelas serta memiliki gengsi tersendiri. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa produk dalam negeri memiliki kualitas yang tidak sebanding dengan harga yang dipatok oleh produsen.
Peran pemerintah terhadap produk dalam negeri pastilah sangat penting. Pemerintah wajib menghimbau masyarakat agar mencintai produksi dalam negeri, dengan himbauan tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi omset pengusaha dalam negeri yang juga dapat meningkatkan devisa negara.
Namun dewasa ini pemerintah tidak konsisten dengan himbauan yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat dari sikap pejabat pemerintahan yang justru lebih senang memakai produk luar negeri, sehingga secara otomatis rakyat akan tak acuh dengan himbauan tersebut. Alhasil produksi dalam negeri menurun dan secara langsung devisa dalam negeri pun menurun. Selain itu, pemerintah sangat tidak sigap dalam hal mematenkan produk dalam negeri. Sikap tersebut mmbuat rakyat menjadi kecewa karena seolah-olah tidak ada dukungan untuk mencintai dan melestarikan produk dalam negeri.
3.1 Saran
Beberapa saran yang dapat kami berikan adalah:
Bagi pemerintah,
·         Pemerintah adalah panutan rakyat, jika pemerintah meminta sesuatu kepada rakyat untuk menjalankannya seharusnya pemerintah pun telah melaksanakannya
·         Pemerintah hrus sigap dalam mematenkan produk-produk lokal sehingga tidak ‘diserobot’ negara lain
Bagi produsen lokal,
·         Produsen lokal hendaknya tidak ‘menganaktirikan’ konsumen dalam negeri dengan cara hanya menjual barang-barang berkualitas rendah
·         Produsen lokal juga harus jeli melihat pasar, jangan menetapkan harga yang tidak sesuai dengan mutu produk yang dihasilkannya
Bagi masyarakat,
·         Tidak selayaknya masyarakat berfikiran bahwa produksi dalam negeri kalah saing dengan produk impor
·         Kebanggan menggunakan produk dalam negeri sekecil apapun itu merupakan implementasi rasa cinta tanah air. Maka berbanggalah ketika menggunakan produk dalam negeri
·         Mari kita mulai mencintai produk dalam negeri sekecil apapun itu karena langkah-langkah kecil itulah yang nantinya akan menjadi langkah besar


 DAFTAR PUSTAKA

Adil rangkuti, Parlaungan.2007.Membangun Kesadaran Bela Negara.Bogor:IPB Press.
[Anonim].2009. Adakah yang cinta dengan produk dalam negeri [terhubung berkala] http://frestialdi.wordpress.com/2009/03/16/adakah-yang-cinta-dengan-produk-dalam-negeri/ [27 Februari 2010]
[Anonim].2009. Bangga produk dalam negeri [terhubung berkala] http://fhoto6666.blogspot.com/2009/10/bangga-produk-dalam-negeri.html [27 Februari 2010]
 [Anonim].2009.Cinta produk dalam negeri[terhubung berkala]http://mekanika7.blogspot.com/2009/10/esai-cinta-produk-dalam-negeri_07.html[27 Februari 2010]
 [Anonim].2009.Dampak tidak cinta pada produk dalam negeri[terhubung berkala] http://bagusweda.wordpress.com/2008/11/25/aku-cinta-produk-dalam-negeri/ [27 Februari 2010]
 [Anonim].2009. Mencintai produk luar negeri [terhubung berkala] http://eddymesakh.wordpress.com/2009/02/17/mencintai-produk-luar-negeri/ [27 Februari 2010]
[Anonim].2009. Orang kaya paling suka produk luar negeri? [terhubung berkala] http://aribicara.blogdetik.com/index.php/2009/01/29/orang-kaya-paling-banyak-suka-produk-luar-negeri/ [27 Februari 2010]
[Anonim].2009.Peran pemerintah[terhubung berkala] http://faridrifai.multiply.com/journal/item/6 [27 Februari 2010]

Makalah Korupsi dan Pencegahannya


TUGAS/TULISAN 4 PEREKONOMIAN INDONESIA
 
ABSTRAK 

Di era reformasi sekarang ini, Indonesia mengalami banyak perubahan. Perubahan sistem politik, reformasi ekonomi, sampai reformasi birokrasi menjadi agenda utama di negeri ini. Yang paling sering dikumandangkan adalah masalah reformasi birokrasi yang menyangkut masalah-masalah pegawai pemerintah yang dinilai korup dan sarat dengan nepotisme. Reformasi birokrasi dilaksanakan dengan harapan dapat menghilangkan budaya-budaya buruk birokrasi seperti praktik korupsi yang paling sering terjadi di dalam instansi pemerintah.
 Reformasi birokrasi ini pada umumnya diterjemahkan oleh instansi-instansi pemerintah sebagai perbaikan kembali sistem remunerasi pegawai. Anggapan umum yang sering muncul adalah dengan perbaikan sistem penggajian atau remunerasi, maka aparatur pemerintah tidak akan lagi melakukan korupsi karena dianggap penghasilannya sudah mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dan untuk masa depannya. Namun pada kenyataannya, tindakan korupsi masih terus terjadi walaupun secara logika gaji para pegawai pemerintah dapat dinilai tinggi.
Korupsi dari yang bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang dilakukan para pejabat pemerintah terus terjadi sehingga dapat disinyalir negara mengalami kerugian hingga triliunan rupiah. Tentunya ini bukan angka yang sedikit, melihat kebutuhan kenegaraan yang semakin lama semakin meningkat. Jika uang yang dikorupsi tersebut benar-benar dipakai untuk kepentingan masyarakat demi mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas pendidikan, mungkin cita-cita tersebut bisa saja terwujud. Dana-dana sosial akan sampai ke tangan yang berhak dan tentunya kesejahteraan masyarakat akan meningkat.

 


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Landasan Teori

Korupsi di negeri ini sekarang sedang merajalela bahkan telah menjadi suatu “kebiasaan”. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam menangani korupsi dan hukum yang sangat tegas. Namun, tetap saja korupsi masih terdapat di negeri ini. Salah satu mengapa orang berani melakukan tindak pidana korupsi yaitu karena kurangnya kesadaran pribadi tentang bahaya korupsi. Tentu saja kita tidak bisa menyadarkan para koruptor karena mereka sudah terlanjur terbiasa dengan tindakannya tersebut.

Jadi, salah satu upaya jangka panjang yang terbaik untuk mengatasi korupsi adalah dengan memberikan pendidikan anti korupsi dini kepada kalangan generasi muda sekarang. Karena generasi muda adalah generasi penerus yang akan menggantikan kedudukan para penjabat terdahulu. Juga karena generasi muda sangat mudah terpengaruh dengan lingkungan di sekitarnya. Jadi, kita lebih mudah mendidikdan memengaruhi generasi muda supaya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebelum mereka lebih dulu dipengaruhi oleh “budaya” korupsi dari generasi pendahulunya.


Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam konstelasi ketatanegaraan. Hal ini tersirat dalam Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan antara lain bahwa tujuan dibentuknya ”Pemerintah Negara Indonesia dan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Dalam implementasinya, penyelenggaraan Negara tidak boleh menyimpang dari kaidah-kaidah yang digariskan. Namun demikian, dalam perkembangannya, pembangunan di berbagai bidang berimplikasi terhadap perilaku penyelenggara negara yang memunculkan rasa ketidakpercayaan masyarakat.

Stigma yang menganggap penyelenggara negara belum melaksanakan fungsi pelayanan publik berkembang sejalan dengan ”social issue” mewabahnya praktek-prakter korupsi sebagai dampak adanya pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pada jabatan tertentu. Disamping itu masyarakat sendiri tidak sepenuhnya dilibatkan dalam Kegiatan Penyelenggaraan Negara sehingga eksistensi kontrol sosial tidak berfungsi secara efektif terhadap penyelenggara negara, terutama dalam hal akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, sehingga rentan sekali untuk menimbulkan penyimpangan dan korupsi.

Korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, tetapi juga melibatkan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dapat membahayakan eksistensi atass fungsi penyelenggaraan negara.

Langkah awal dan mendasar untuk menghadapi dan memberantas segala bentuk korupsi adalah dengan memperkuat landasan hukum yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan dapat mendukung pembentukan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, dan diperlukan pula kesamaan visi, misi dan persepsi aparatur penegak hukum dalam penanggulangannya. Kesamaan visi, misi dan persepsi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelengara negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, bebas dari korupsi.

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini masih terus bergulir, walaupun berbagai strategi telah dilakukan, tetapi perbuatan korupsi masih tetap saja merebak di berbagai sektor kehidupan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa terpuruknya perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, salah satu penyebabnya adalah korupsi yang telah merasuk ke seluruh lini kehidupan yang diibaratkan seperti jamur di musim penghujan, tidak saja di birokrasi atau pemerintahan tetapi juga sudah merambah ke korporasi termasuk BUMN.
  


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi?
2. Bagaimanakah peran serta generasi muda dalam memberantas korupsi?
3. Bagimanakah peranan pendidikan anti korupsi dini dikalangan generasi muda dalam mencegah terjadinya tindak korupsi?
4. Hambatan dan upaya apakah yang dilakukan dalam memberantas tindakan korupsi?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui lebih dalam tentang korupsi.
2. Untuk mengetahui peran serta generasi muda dalam memberantas korupsi.
3. Untuk mengetahui peranan pendidikan anti korupsi dini di kalangan generasi muda dalam mencegah terjadinya tindak korupsi.
4. Untukmengetahuihambatan dan upaya yang dilakukan dalam memerangi korupsi.
1.4 Manfaat
1. Makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap pola piker generasi muda agar tidak melakukan tindak korupsi yang bias merugikan diri sendiri, keluarga ataupun masyarakat luas
2. Makala hini diharapkan bias menjadi tolak ukur dan motivasi terhadap generasi muda agar bias menghindari tindak korupsi
3. Makalah ini diharapkan dapat membantu memberikan pembelajaran khususnya terhadap generasi muda untuk membenahi dan meningkatkan peranan dan dukungan terhadap edukasi anti korupsi sejak dini




BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pengertian korupsi adalahperbuatanmelawanhukumdenganmaksudmemperkayadirisendiriatau orang lain yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Korupsi sebagai suatu fenomena sosial bersifat kompleks, sehingga sulit untuk mendefisinikannya secara tepat tentang ruang lingkup konsep korupsi. Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik, yang berarti tindakan korupsi yang sepertinya sudah melekat kedalam sistem menjadi bagian dari operasional sehari-hari dan sudah dianggap lazim serta tidak melanggar apa pun. Misalnya sebuah instansi yang menerima uang dari rekanan dan kemudian dikelolanya sebagai dana taktis, entah itu sebagai semacam balas jasa atau apa pun. Kalau mark up atau proyek fiktif sudah jelas-jelas korupsi, tetapi bagaimana seandainya itu adalah pemberian biasa sebagai ungkapan terimakasih. Kalau itu dikategorikan korupsi, maka mungkin semua instansi akan terkena. Dana taktis sudah merupakan hal yang biasa dan itu salah satu solusi untuk memecahkan kebuntuan formal. Ada keterbatasan anggaran lalu dicarilah cara untuk menyelesaikan banyak masalah.Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah.Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Mari kita tempatkan seorang “pelajar” yang ingin mencari bangku di sebuah sekolah yang berlabel “negeri” dengan menggunakan “jalur mandiri”. ‘Dia’ menyiapkan sejumlah uang untuk menyuap “orang dalam” agar mendapatkan bangku di sekolah tersebut. Itulah contoh kecil tindakan korupsi yang terjadi di kalangan pelajar. Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi harus cukup jelas dalam hal bagaimana dan seberapa banyak jenis korupsi serta tindakan yang tidak “halal” itu merugikan masyarakat terutama diri sendiri.


  • Teori Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.

Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum.

Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan.

Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.

Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme.

Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).

Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.

Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.

Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya.
 


a. Sebab-Sebab Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri.

Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :

• Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.

• Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.

• Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

• Kurangnya pendidikan.
• Adanya banyak kemiskinan.
• Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
• Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
• Struktur pemerintahan.

• Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.

• Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.


Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :

• Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.

• Opportunities(kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.

• Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.

• Exposures(pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.


2.2. Peran Serta Generasi Muda Dalam Memberantas Korupsi

Pemuda adalah aset zaman yang paling menentukan kondisi zaman tersebut dimasa depan. Dalam skala yang lebih kecil, pemuda adalah aset bangsa yang akan menentukan mati atau hidup, maju atau mundur, jaya atau hancur, sejahtera atau sengsaranya suatu bangsa.
Belajar dari masa lalu, sejarah telah membuktikan bahwa perjalanan bangsa ini tidak lepas dari peran kaum muda yang menjadi bagian kekuatan perubahan. Hal ini membuktikan bahwa pemuda memiliki kekuatan yang luar biasa. Tokoh-tokoh sumpah pemuda 1928 telah memberikan semangat nasionalisme bahasa, bangsa dan tanah air yang satu yaitu Indonesia. Peristiwa sumpah pemuda memberikan inspirasi tanpa batas terhadap gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan di Indonesia. Semangat sumpah pemuda telah menggetarkan relung-relung kesadaran generasi muda untuk bangkit, berjuang dan berperang melawan penjajah Belanda.

Untuk konteks sekarang dan mungkin masa-masa yang akan datang yang menjadi musuh bersama masyarakat adalah praktek bernama Korupsi. Fakta bahwa korupsi sudah sedemikian sistemik dan kian terstruktur sudah tidak terbantahkan lagi. Ada cukup banyak bukti yang bisa diajukan untuk memperlihatkan bahwa korupsi terjadi dari pagi hingga tengah malam, dari mulai soal pengurusan akta kelahiran hingga kelak nanti pengurusan tanah kuburan, dari sektor yang berkaitan dengan kesehatan hingga masalah pendidikan, dari mulai pedagang kaki lima hingga promosi jabatan untuk menduduki posisi tertentu di pemerintahan.
Oleh karena itulah, peran kaum muda sekarang adalah mengikis korupsi sedikit demi sedikit, yang mudah-mudahan pada waktunya nanti, perbuatan korupsi dapat diberantas dari negara ini atau sekurang-kurangnya dapat ditekan sampai tingkat serendah mungkin.

2.3 Peranan Pendidikan Anti Korupsi Dini Dikalangan Generasi Muda Dalam Mencegah Terjadinya Tindak Korupsi

Pendidikan adalah salah satu penuntun generasi muda untuk ke jalan yang benar. Jadi, sistem pendidikan sangat memengaruhi perilaku generasi muda ke depannya. Termasuk juga pendidikan anti korupsi dini. Pendidikan, sebagai awal pencetak pemikir besar, termasuk koruptor sebenarnya merupakan aspek awal yang dapat merubah seseorang menjadi koruptor atau tidak. Pedidikan merupakan salah satu tonggak kehidupan masyarakat demokrasi yang madani, sudah sepantasnya mempunyai andil dalam hal pencegahan korupsi. Salah satu yang bisa menjadi gagasan baik dalam kasus korupsi ini adalah penerapan anti korupsi dalam pendidikan karakter bangsa di Indonesia.
Pendidikan anti korupsi sesungguhnya sangat penting guna mencegah tindak pidana korupsi. Jika KPK dan beberapa instansi anti korupsi lainnya menangkapi para koruptor, maka pendidikan anti korupsi juga penting guna mencegah adanya koruptor. Seperti pentingnya pelajaran akhlak dan moral. Pelajaran akhlak penting guna mencegah terjadinya kriminalitas. Begitu halnya pendidikan anti korupsi memiliki nilai penting guna mencegah aksi korupsi. Maka dari itu, sebagai wanita, pemelihara bangsa dan penelur generasi penerus bangsa, sudah pasti harus mampu memberikan sumbangsih dalam hal pemberantasan korupsi. Satu hal yang pasti, korupsi bukanlah selalu terkait dengan korupsi uang. Namun sisi korupsi dapat merambah dalam segala hal bidang kehidupan. Misalnya tenaga, jasa, materi, dan sebagainya. Seperti yang dilansir dari program KPK yang akan datang bahwa pendidikan dan pembudayaan antikorupsi akan masuk ke kurikulum pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi mulai tahun 2012. Pemerintah akan memulai proyek percontohan pendidikan antikorupsi di pendidikan tinggi. Jika hal tersebut dapat terealisasi dengan lancar maka masyarakat Indonesia bisa optimis di masa depan kasus korupsi bisa diminimalisir.

2.4 Hambatan Dan Upaya Yang Dilakakukan Dalam Penerapan Pendidikan Anti Korupsi Dini

Dibawah ini adalah beberapa hambatan yang akan dihadapi, yaitu:
1. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.
2. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
3. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada check and balance.
4. Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik dan sistem administrasi Indonesia.
5. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan rasti yang semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diemban.



BAB III

PENUTUP
3.1 Implementasi

1. Pendidikan anti korupsi dini sebagai langkah awal terhadap penanganan kasus korupsi yang bermula dari diri sendiri dan diharapkan beimplikasi terhadap kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Dalam jangka panjang, pendidikan anti korupsi dini diharapkan mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN serta mampu melaksanakan Undang-Undang Dasar ’45 demi terwujudnya good goverment.
3. Pendidikan anti korupsi dini diharapkan mampu memberikan pola pikir baru terhadap generasi muda dalam mewujudkan negara yang bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

3.2 Rekomendasi

1. Perlu peningkatan peran keluarga dalam penerapan pendidikan anti korupsi dini sebagai figur dalam pembentukan karakter.
2. Pemerintah dalam halnya melalui Dinas Pendidikan memformulasikan pendidikan anti korupsi dalam mata pelajaran pada jenjang pendidikan formal.
3. Adanya kerjasama masyarakat, pemerintah serta instansi terkait secara sinergis untuk dapat mengimplementasikan dan menerapkan pendidikan anti korupsi dini di segala aspek kehidupan. 





Daftar Pustaka

1. Anonim. “Korupsi” http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi (diakses tanggal 9 September 2012)
2. Razib, Rizal. “PERAN PEMUDA DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA; INTERNALISASI TIGA AJARAN KI HAJAR DEWANTARA” http://rizalrazib.blogspot.com/2011/11/peran-pemuda-dalam-pemberantasan.html (diakses tanggal 9 September 2012)
3. Rizani, Ahmad. “Peran serta Pemuda sebagai Agen Pemberantasan Korupsi” http://kompasiana.com/post/hukum/2011/01/29/peran-serta-pemuda-sebagai-agen-pemberantasan-korupsi/(diakses tanggal 9 September 2012)
4. Aulia, Aylea. “Peran Pendidikan Karakter Bangsa Sebagai Pencegahan Korupsi Sejak Dini” http://aylea-aulia-peace.blogspot.com/2012/08/peran-pendidikan-karakter-bangsa.html(diakses tanggal 9 September 2012)
5. Khoiri, Mishad. “Pendidikan Anti Korupsi” http://kualitaindonesia.blogspot.com/2012/03/pendidikan-anti-korupsi.html(diakses tanggal 9 September 2012)